Koordinator Karyawan Mogok Kerja (Moker) PT Freeport Indonesia dan Privatisasi dan Kontraktor, Billy Laly didampingi Obet Biam saat menggelar jumpa pers dengan wartawan di Jalan Elang Timika, Kabupaten Mimika, Papua Tengah, Sabtu (8/2/2025)/Foto : redaksi
TIMIKA, (taparemimika.com) – Delapan tahun berlalu sejak aksi mogok kerja massal pada 2017, nasib 8.300 eks karyawan PT Freeport Indonesia masih terkatung-katung. Perwakilan buruh yang tergabung dalam aksi tersebut, Billy Laly, menegaskan bahwa tidak ada bukti hukum yang menyatakan bahwa mereka telah mengundurkan diri.
“Kami mohon rekan-rekan media untuk melakukan klarifikasi. Apakah ada bukti hukum atau fakta hukum yang menyatakan bahwa kami mengundurkan diri? Dari berbagai rekomendasi yang kami peroleh, tidak ada satu pun yang menyebutkan bahwa kami telah di-PHK,” kata Billy Laly didampingi sejumlah teman-teman moker dalam keterangannya dalam kasus dugaan Gratifikasi PT Freeport Indonesia dikalangan Pemerintah Daerah, di Jalan Elang Timika, Kabupaten Mimika, Papua Tengah pada Sabtu (8/2/2025).
Billy merujuk pada surat dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Provinsi Papua pada tahun 2018 lalu yang menegaskan bahwa aksi mogok kerja mereka sah secara hukum.
Selain itu, Komnas HAM juga telah merekomendasikan agar para karyawan dipekerjakan kembali, sementara Kemenkumham pada 2022 menegaskan bahwa sebelum ada putusan tetap dari pengadilan, baik karyawan maupun perusahaan tetap memiliki hak dan kewajiban masing-masing.
“Putusan kasasi pada 2022 juga menegaskan bahwa aksi mogok kerja dari April hingga 1 Mei 2017 adalah sah. Namun, Freeport tetap bersikeras bahwa keputusan ini bersifat personal, padahal jika kita lihat putusan tersebut, jelas disebutkan bahwa mogok kerja itu sah,” lanjut Billy.
Para eks karyawan menilai bahwa pengawas tenaga kerja yang memiliki kewenangan dalam menyelesaikan persoalan ini belum menjalankan tugasnya secara maksimal. Mereka menuntut agar rekomendasi dari berbagai lembaga dihormati dan diterapkan.
“Kami sudah menempuh berbagai langkah dan mendatangi semua pintu. Semua rekomendasi sudah ada, dan saya bisa pastikan tidak ada satu pun yang menyatakan bahwa kami mengundurkan diri,” tegasnya.
Setelah delapan tahun tanpa kejelasan, para eks karyawan Freeport hanya meminta satu hal yaitu ruang perundingan.
Hingga kini, ribuan eks karyawan Freeport masih berharap ada titik terang atas perjuangan panjang mereka. Dengan berbagai rekomendasi hukum yang sudah ada, mereka menuntut agar hak-hak mereka sebagai pekerja dihormati dan dipenuhi.
“Kami hanya meminta agar ruang perundingan dibuka. Sejak 2018 hingga kini, Freeport masih beranggapan bahwa kami mengundurkan diri, sehingga hak-hak kami seolah tidak ada. Kami ingin duduk bersama dan menyelesaikan persoalan ini secara adil,” pungkas Billy.
Billy juga dalam keterangan pers tersebut mengungkap bahwa ada temuan dari Inspektorat Provinsi Papua Tahun 2021 yang diduga ada gratifikasi yang dilakukan oleh managemen PT Freeport Indonesia terhadap sejumlah pejabat di Pemprov Papua dan Pemkab Mimika.
“Sesuai hasil pemeriksaan Audit tujuan tertentu atas dugaan pelanggaran kode etik dan kode perilaku ASN dan Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil Menengah dan Tenaga Kerja Pemprov Papua dan Pemkab Mimika tahun 2020. Dugaan gratifikasi tersebut terhadap 6 ASN dan satu kepala Dinas di Pemprov Papua dan 7 ASN di lingkup Pemkab Mimika adanya dugaan gratifikasi berupa akomodasi dan transportasi yang dibiayai oleh PT Freeport Indonesia terkait perselihan hubungan industrial antara Moker dan Freeport,”tegasnya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh salah satu karyawan Moker, Obet Biam yang mengakui bahwa kisah ketidak adilan semakin rumit dengan adanya temuan dan diduga ada gratifikasi dari PT Freeport Indonesia menyangkut perselisihan hubungan industry antara karyawan Moker dan Freeport.
“Kami hanya butuh keadilan dan bukan janji manis dari pemerintah maupun PT Freeport Indonesia yang harus bertanggungjawab tentang nasib 8.300 karyawan yang di putus sepihak oleh managemen. Dampak dari keputusan sepihak managemen PT FI ini telah membuat ribuan karyawan dan keluarga hidupnya terkatung-katung, tolong pemerintah melihat hal ini,”ungkap Obet Biam.
Dirinya juga berharap penegak hukum dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menindak lanjuti adanya dugaan gratifikasi dilakukan PT Freeport Indonesia terhadap ASN Pemprov Papua dan Pemkab Mimika, berdasarkan Laporan hasil Audit dari Inspektorat Papua.
“Ini sudah sangat jelas berdasarkan adanya laporan hasil audit Inspektorat dimana telah terjadi adanya dugaan gratifikasi, pihak keamanan dan kejaksaan serta KPK sudah harus menindak lanjuti temuan ini. Kami berharap negara hadir untuk memberikan keadilan bagi 8.300 karyawan Moker yang sampai saat ini masih terkatung-katung,”keluh Obet.(rik/tm1)