Oleh: Dr. Kanisius Jehabut (Eks Umat Paroki Katedral Tigaraja Kini Tinggal di Labuan Bajo)
TIMIKA,(taparemimika.com) – Hari ini adalah hari istimewa bagi Keuskupan Timika. Di bawah langit Papua yang biru dan tanah yang selalu mendoakan, kita menyaksikan momen sakral tahbisan episkopal Mgr. Bernardus Bofitwos Baru, OSA, yang dipimpin langsung oleh Duta Besar Vatikan untuk Indonesia di Katedral Tiga Raja Timika. Sebuah peristiwa yang tidak hanya menandai pergantian kepemimpinan Gereja lokal, tetapi juga membuka babak baru dalam perjalanan iman umat di wilayah ini.
Mgr. Bernardus datang dengan motto pelayanan yang sederhana namun menggugah Ego Sum Ostium – Akulah Pintu” . Pintu bukan hanya akses, tapi juga simbol keterbukaan, perlindungan, dan pengharapan. Ia menjadi lambang dari gereja yang bersedia menerima, merengkuh yang lemah, dan menyambut mereka yang tersesat untuk kembali pulang.
Dalam pidato singkatnya, Uskup Bernardus menyampaikan bahwa, “Pelayan yang melayani itu sakramental, bukan kekuasaan.” Ungkapan ini menyiratkan perubahan paradigma dari gereja yang memerintah, menjadi gereja yang merangkul. Ia menempatkan pelayanan dalam kerangka kasih, bukan dominasi; dalam relasi yang setara, bukan hierarki yang kaku. Dan di sinilah kita melihat bahwa Keuskupan Timika dipanggil untuk menjadi pintu harapan bagi masyarakat Papua.
Pertobatan ekologis menjadi bagian penting dari harapan itu. Papua bukan sekadar wilayah administratif. Ia adalah rumah bagi hutan perawan, sungai-sungai suci, dan gunung-gunung yang menjadi penjaga langit. Di tengah ancaman eksploitasi sumber daya alam dan krisis iklim global, suara Gereja harus menjadi suara kenabian. Dan kini, dengan gembala baru, Keuskupan Timika diharapkan menjadi pelopor dalam membangkitkan kesadaran ekologis: bahwa mencintai Allah berarti juga menjaga ciptaan-Nya.
Uskup Bernardus juga mengingatkan pentingnya membuka pintu dialog. Di Papua, realitas sosial, politik, dan budaya sangat kompleks. Gereja tidak boleh tinggal diam. Ia harus menjadi jembatan. Dialog harus dimulai dari keberanian untuk mendengar. Sebab seperti dikatakannya, komunikasi dan kerja sama hanya akan terwujud jika ada kekuatan dalam mendengarkan mendengar jeritan rakyat kecil, mendengar tangis bumi yang dirusak, dan mendengar bisikan Roh Kudus yang selalu memanggil pada jalan damai.
Umat Timika, dan kita semua, kini diajak untuk membuka diri. Menjadi pintu-pintu kecil di mana kasih bisa masuk dan keluar. Menjadi ruang aman bagi mereka yang selama ini ditolak. Menjadi ladang bagi benih pengharapan baru.
Semoga tahbisan ini bukan hanya seremoni keagamaan, tapi momentum pertobatan bersama. Agar Gereja lebih bersuara untuk keadilan, lebih berpihak kepada yang miskin, dan lebih menyatu dengan alam semesta.
Selamat berkarya, Mgr. Bernardus. Timika membuka pintu. Papua menunggu suara gembala. Gereja berjalan bersama. (*tm)